Minggu, 01 April 2012

when the sun goes down


Dulu aku bertanya pada matahari tentang arti sinarnya. Mengapa sinarnya ada bermacam-macam. Kadang menghangatkan kadang menyakitkan. Ketika sinarnya menghangatkan kau tersenyum lebar merasakannya. Rasanya, matahari begitu bersahabat, sejuk, dan angin yang bertiup,  kau tahu, sangat familiar. Kau begitu ceria menikmati sinarnya yang baik hati itu. Kau melakukan hal-hal yang menyenangkan dengan sinar yang indah itu. Namun waktu terus berjalan tanpa mau tahu apa yang sedang kau kerjakan.   

Pagi menghilang beranjak dewasa menuju waktu siang. Dingin mulai hilang. Angin yang bertiup sepoi itu tidak terasa. Pagiku telah hilang. Digantikan siang yang sudah mulai menampakkan wajah judesnya. Siang itu angkuh. Acuh tak acuh. Semaunya sendiri. Tapi tahukah kau, dibalik sikapnya yang arogan itu, secara tak langsung dia juga berbaik hati mengeringkan jemuranmu yang kau cuci tadi pagi. Namun, jika kau perhatikan baik-baik, siang hari kadang memberikan sedikit senyuman diujung bibirnya, walaupun agak terpaksa. Jika kau rasa, siang yang panas yang sangat itu sudah mulai mencekik lehermu, dia akan memberikan sedikit mendung untukmu agar kau dapat bernafas lega. Tapi ingatkah kau jika siang itu hanya sementara? Jika panas yang kau maki-maki itu akan sirna? Dia akan digantikan oleh sore hari yang kusebut dengan yellow moment. 

Ketika kau melihat matahari yang sangat kau cintai itu mulai tenggelam perlahan, menyisihkan sinar-sinar memanjang. Seakan memberi lambaian selamat tinggal untukmu.  Malam hadir dan pagi akan kembali lagi.

Dewasaku..

Jika aku menuruti analogi sinar matahari, akankah aku kehilangan kesejukanku? Akankah aku kehilangan rasa dinginku dan membuat orang lain tersakiti merasakan aku? Apakah itu yang disebut dewasa?